Tanpa Batasan, Tanah Dikuasai PT: Rakyat Bertani di Mana?

Table of Contents

 

Gambar:istockphoto/pixabay.com

Di balik luasnya hamparan tanah Indonesia yang mencapai lebih dari 190 juta hektar, ada sebuah ironi yang kian menganga: rakyat kecil sulit mendapatkan tanah untuk bertani, sementara banyak perusahaan justru menguasai ribuan hingga ratusan ribu hektar lahan. Dalam sistem agraria kita saat ini, tidak ada batasan eksplisit luas lahan yang boleh dimiliki oleh Perseroan Terbatas (PT). Artinya, selama memenuhi persyaratan administratif dan modal, sebuah perusahaan bisa mendapatkan hak kelola atas lahan seluas apa pun, bahkan lebih besar dari luas satu kabupaten.

Tidak Ada Batasan untuk PT: Celah yang Dibiarkan Menganga

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 sebenarnya dibangun di atas semangat keadilan sosial. Pasal 2 dan Pasal 7 secara tegas menyebutkan bahwa negara harus mencegah penguasaan tanah secara berlebihan. Namun dalam praktiknya, ketentuan ini lebih banyak diterapkan kepada perorangan. Untuk petani, ada batas maksimal luas tanah pertanian yang boleh dimiliki—berkisar antara 6 sampai 20 hektar tergantung kepadatan penduduk daerah tersebut.

Sebaliknya, untuk badan hukum seperti PT, tidak ada batas maksimum yang ditetapkan secara hukum. Selama perusahaan tersebut memiliki perizinan dan rencana usaha yang dinilai layak oleh pemerintah atau Badan Pertanahan Nasional (BPN), maka mereka bisa mendapatkan hak guna usaha (HGU) atas lahan yang sangat luas. Bahkan beberapa perusahaan sawit atau kehutanan tercatat mengelola lahan lebih dari 100.000 hektar.

Ketimpangan Lahan yang Kian Mengkhawatirkan

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan bahwa 1% penduduk paling kaya menguasai lebih dari 50% tanah produktif di Indonesia. Sementara jutaan petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar—bahkan sebagian tidak memiliki tanah sama sekali. Situasi ini menciptakan ketimpangan struktural yang sangat tajam, di mana petani yang menjadi tulang punggung produksi pangan justru tidak memiliki akses ke alat produksinya yang paling dasar: tanah.

Ketimpangan ini juga menciptakan dampak sosial yang serius. Banyak petani kehilangan mata pencaharian dan terpaksa menjadi buruh tani atau migran. Konflik agraria pun meningkat tajam. Dalam satu dekade terakhir, ratusan konflik agraria terjadi setiap tahun, mayoritas antara masyarakat dan perusahaan besar yang menguasai lahan dalam skala besar.

Rakyat Bertani di Mana?

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: jika tanah terus dikuasai oleh PT tanpa batasan, rakyat kecil mau bertani di mana? Bukankah tanah adalah hak hidup yang harus diakses secara adil oleh seluruh rakyat Indonesia? Ketika korporasi mendapat prioritas dalam pembagian lahan, maka keadilan sosial sebagai tujuan utama konstitusi dan UUPA hanya tinggal jargon kosong.

Banyak masyarakat adat kehilangan hutan adatnya karena digantikan dengan konsesi perusahaan. Petani lokal terusir dari tanah yang mereka garap turun-temurun karena tidak memiliki sertifikat resmi, sementara perusahaan datang dengan dokumen lengkap. Ironisnya, negara kerap kali lebih membela pemilik modal dibanding rakyat yang terpinggirkan.

Reforma Agraria: Antara Retorika dan Kenyataan

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Reforma Agraria sebagai program prioritas nasional sejak beberapa tahun lalu. Namun pelaksanaannya belum menyentuh akar masalah. Redistribusi tanah berjalan lambat, dan banyak tanah yang dibagikan justru berasal dari tanah negara yang statusnya tak jelas, bukan dari konsesi besar yang sudah kadaluarsa atau terlantar.

Yang lebih mendasar, tidak ada reformasi hukum yang mengatur batas maksimal penguasaan tanah oleh badan hukum. Tanpa adanya aturan pembatasan yang tegas, celah hukum ini akan terus dimanfaatkan oleh korporasi untuk memperluas kekuasaannya atas lahan. Ketimpangan penguasaan tanah pun akan semakin melebar.

Solusi: Bukan Sekadar Sertifikasi, Tapi Distribusi

Reforma Agraria sejati tidak cukup hanya dengan sertifikasi tanah milik rakyat kecil. Yang dibutuhkan adalah pembatasan penguasaan tanah secara menyeluruh, termasuk oleh perusahaan. Negara harus berani mengevaluasi izin-izin HGU yang terlalu luas dan tidak produktif, serta mengalihkan sebagian lahan tersebut untuk kepentingan rakyat.

Di sisi lain, revisi peraturan agraria dan tata ruang harus dilakukan dengan pendekatan berbasis keadilan sosial, bukan semata investasi. Jika tidak, petani akan terus menjadi korban dari sistem yang menyingkirkan mereka dari tanah mereka sendiri.

Penutup: Akses Tanah adalah Keadilan

Indonesia tidak kekurangan tanah, tapi tanahnya dikuasai secara tidak adil. Jika pemerintah terus membiarkan penguasaan tanah oleh PT tanpa batas, maka pertanian rakyat akan mati pelan-pelan. Padahal, dari tangan para petanilah pangan negeri ini dihasilkan. Jika mereka tidak lagi punya lahan untuk bertani, maka kita semua yang akan menanggung akibatnya.

Tanpa keadilan agraria, mimpi tentang kedaulatan pangan hanyalah utopia.


Posting Komentar