HGU vs Hak Petani: Bolehkah Lahan Rakyat Dipaksa Jadi Perkebunan Besar?

Table of Contents


Di Indonesia, konflik agraria kerap terjadi saat perusahaan perkebunan ingin membuka lahan skala besar, terutama sawit. Persoalan semakin pelik ketika lahan yang hendak dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) sudah lebih dulu dikuasai masyarakat petani secara turun-temurun. Lalu, apakah pemerintah atau perusahaan boleh memaksa petani menyerahkan lahannya?

Artikel ini membahas secara tuntas: apa itu HGU, bagaimana aturan kepemilikan lahan menurut UU, dan apa yang harus dilakukan jika petani menolak menyerahkan tanah mereka.

🔍 Apa Itu HGU dan Siapa yang Bisa Memilikinya?

Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak yang diberikan negara kepada perorangan atau badan hukum untuk mengelola lahan pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan selama jangka waktu tertentu (maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun).

Namun, HGU tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Hanya pihak-pihak berikut yang berhak:

  • Warga Negara Indonesia (WNI)

  • Badan hukum Indonesia (seperti PT, koperasi, BUMN)

Untuk mendapatkan HGU di atas 20 hektar (seperti perkebunan sawit), pemohon harus membentuk badan usaha dan mengurus izin lengkap: dari Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), dokumen lingkungan (AMDAL/UKL-UPL), hingga pengukuran lahan oleh BPN.

⚖️ Bagaimana Aturan Kepemilikan Lahan Menurut UU?

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, ada batas maksimal kepemilikan tanah bagi perorangan:

  • Di wilayah jarang penduduk, batas maksimal lahan pertanian adalah 20 hektar per orang.

  • Jika ingin memiliki lebih dari itu, harus dalam bentuk badan hukum dan mengajukan permohonan HGU.

Untuk kasus di daerah yang tergolong jarang penduduk—memiliki 20 hektar lahan perkebunan secara pribadi dan 5.000 m² lahan perumahan tidak melanggar aturan, selama tidak disiasati dengan memecah nama ke keluarga lain secara fiktif.

🚫 Jika Petani Tidak Mau Melepas Lahannya, Apakah Bisa Dipaksa?

Tidak bisa. Lahan milik masyarakat yang telah dikuasai secara turun-temurun tetap dilindungi hukum, meskipun belum bersertifikat, selama ada bukti administratif seperti:

  • SPPT PBB

  • Surat garapan

  • Surat pernyataan penguasaan tanah dari desa

HGU hanya bisa diberikan di atas tanah yang bebas sengketa dan telah disetujui oleh pemiliknya. Jika petani menolak, maka:

  • BPN tidak akan menerbitkan HGU

  • Tanah tidak dapat dikelola secara legal oleh perusahaan

  • Pemaksaan dapat memicu konflik sosial, kriminalisasi, bahkan kekerasan

🔄 Solusi Jika Petani Menolak Menjual Lahan

Pengusaha dan pemerintah tidak boleh memaksa, tapi dapat menempuh langkah-langkah berikut:

✅ 1. Musyawarah dan Ganti Rugi Layak

Negosiasikan secara adil, transparan, dan sesuai harga pasar.

✅ 2. Kemitraan Plasma–Inti

Libatkan petani sebagai mitra. Petani tetap memiliki lahannya, tapi hasil sawit dikelola bersama dengan perusahaan.

✅ 3. Relokasi Rencana HGU

Cari lokasi lain yang benar-benar kosong dan tidak dikuasai masyarakat.

⚠️ Hal-Hal yang Tidak Diperbolehkan

  • Menggunakan aparat untuk mengusir petani

  • Memalsukan dokumen kepemilikan

  • Memecah kepemilikan fiktif ke keluarga agar bisa melewati batas maksimal

  • Kriminalisasi petani yang menolak menyerahkan lahan

Semua tindakan di atas melanggar hukum dan hak asasi petani.

✍️ Kesimpulan

Petani memiliki hak penuh atas lahannya jika telah menguasainya secara sah, baik secara adat maupun administratif. Perusahaan atau pemegang izin HGU tidak boleh memaksa tanpa persetujuan dan ganti rugi yang adil.

Sebaliknya, jika Anda sebagai pengusaha ingin membuka lahan sawit lebih dari 100 hektar, uruslah izin dengan benar, bentuk badan usaha, dan bangun relasi harmonis dengan masyarakat. Pembangunan sejati bukan soal kuasa atas lahan, tapi kolaborasi yang saling menguntungkan.

Posting Komentar