Batas Maksimal Kepemilikan Lahan Perkebunan: Edukasi Hukum Agraria untuk Masyarakat

Kepemilikan lahan perkebunan menjadi isu penting dalam sektor pertanian dan keadilan sosial di Indonesia. Pemerintah melalui Undang-Undang telah menetapkan batas maksimal luas tanah yang boleh dimiliki oleh perorangan maupun badan hukum, guna mencegah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria.
Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui batas legal ini, bahkan sebagian pihak sengaja mengakali aturan dengan menyebar kepemilikan atas nama keluarga atau memecah lokasi di wilayah berbeda.
Lalu, sebenarnya berapa batas maksimal kepemilikan tanah pertanian atau perkebunan? Apakah seseorang boleh memiliki lebih dari 20 hektar jika lahannya tersebar di dua daerah? Artikel ini akan mengulasnya secara lengkap berdasarkan hukum yang berlaku.
Dasar Hukum Kepemilikan Tanah Perkebunan di Indonesia
Batas maksimal kepemilikan tanah pertanian dan perkebunan diatur dalam:
-
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
-
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961
-
Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 24 Tahun 1997
Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjamin pemerataan penguasaan tanah, menghindari monopoli lahan, serta memastikan tanah dimanfaatkan secara adil dan produktif.
Batas Maksimal Kepemilikan Tanah Pribadi
Berikut adalah batas maksimum yang diperbolehkan untuk tanah pertanian atau perkebunan atas nama perorangan (pribadi):
Wilayah | Jenis Lahan | Batas Maksimal |
---|---|---|
Luar Pulau Jawa | Tanah kering/perkebunan | 20 hektar |
Luar Pulau Jawa | Tanah sawah | Sekitar 10 hektar |
Pulau Jawa & Bali | Tanah kering | 5–6 hektar |
Pulau Jawa & Bali | Tanah sawah | 2–5 hektar |
Artinya, satu orang hanya boleh memiliki maksimal 20 hektar lahan perkebunan di luar Pulau Jawa, tanpa memandang di mana lokasi tanah tersebut berada.
Bolehkah Punya Tanah 20 Hektar di Dua Daerah?
Tidak sedikit orang yang menyebarkan kepemilikan tanahnya ke berbagai wilayah, misalnya:
-
20 hektar di Kabupaten Palelawan, Riau
-
20 hektar lagi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
Meskipun berada di lokasi berbeda, jika keduanya atas nama orang yang sama, maka total kepemilikan menjadi 40 hektar. Ini jelas melanggar hukum, karena batas maksimal dihitung berdasarkan total kepemilikan nasional, bukan per daerah.
Modus: Pecah Nama atas Keluarga
Beberapa pihak mencoba menghindari aturan batas maksimal dengan menyiasati kepemilikan menggunakan nama:
-
Istri atau suami
-
Anak-anak
-
Saudara atau keponakan
-
Karyawan atau orang kepercayaan
Jika kepemilikan tersebut hanya formalitas di atas kertas, namun kendali sebenarnya tetap pada satu orang, maka hal itu disebut penguasaan terselubung, atau dalam istilah hukum: “nominee arrangement”.
Praktik seperti ini bertentangan dengan prinsip keadilan agraria dan dapat ditindak jika terbukti dalam audit pertanahan oleh BPN.
Dampak Penguasaan Lahan Melebihi Batas
Penguasaan lahan secara berlebihan oleh segelintir orang atau perusahaan berdampak luas:
-
Menyebabkan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi
-
Memicu konflik agraria dengan masyarakat lokal
-
Mengurangi kesempatan petani kecil untuk mengakses lahan produktif
-
Menghambat program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah
Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami batasan hukum ini dan turut aktif dalam pengawasan.
Hak Masyarakat untuk Melapor
Jika masyarakat menemukan dugaan adanya penguasaan lahan melebihi batas hukum, termasuk:
-
Pemecahan kepemilikan atas nama keluarga,
-
Kepemilikan ganda di dua wilayah,
-
Penggunaan HGU tanpa izin Presiden untuk luas lebih dari 25.000 hektar oleh perusahaan,
Masyarakat dapat melaporkannya ke:
-
Kantor Pertanahan/BPN setempat
-
Situs pengaduan resmi pemerintah: www.lapor.go.id
-
Ombudsman RI
-
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika ada dugaan korupsi dalam penerbitan izin
Pelaporan bisa dilakukan secara anonim, selama disertai bukti dan informasi yang cukup.
Penutup
Tanah adalah sumber kehidupan dan penghidupan bagi banyak rakyat Indonesia. Maka, penguasaan tanah harus dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai aturan. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk memahami hukum agraria dan turut mengawasi pelaksanaannya di lapangan.
Dengan edukasi yang baik, kita bisa mendorong terciptanya keadilan agraria, mencegah konflik, dan memastikan bahwa tanah dikuasai oleh mereka yang memang berhak dan mampu mengelolanya dengan bijak.
Posting Komentar