Ki Hajar Dewantara dan Revolusi Pendidikan pada Masa Pergerakan Nasional

Sejarah pendidikan di Indonesia tidak bisa lepas dari peran besar Ki Hajar Dewantara. Beliau bukan hanya dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, tetapi juga sebagai sosok yang merevolusi sistem pendidikan bagi rakyat pribumi di masa kolonial. Di tengah diskriminasi pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda, Ki Hajar Dewantara hadir dengan gagasan-gagasan progresif yang membuka jalan bagi sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berjiwa nasionalisme.
Pendidikan di Masa Kolonial: Hak Istimewa untuk Segelintir Orang
Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan tidak diberikan secara merata. Sistem pendidikan yang diterapkan lebih berpihak kepada golongan elite dan keturunan Eropa, sementara rakyat pribumi hanya mendapatkan sedikit kesempatan untuk bersekolah. Beberapa sekolah yang tersedia antara lain:
- Eropaasche Lagere School (ELS) – sekolah khusus bagi anak-anak Belanda dan keturunan Eropa.
- Hollandsch-Inlandsche School (HIS) – diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dari kalangan bangsawan.
- Schakel School dan Volksschool – sekolah dengan kualitas rendah untuk rakyat biasa.
Sistem ini membuat pendidikan menjadi alat pembeda sosial, yang akhirnya melahirkan perlawanan dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, termasuk Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara: Dari Jurnalis ke Pejuang Pendidikan
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889, Ki Hajar Dewantara awalnya dikenal sebagai jurnalis dan aktivis pergerakan nasional. Salah satu tulisan kontroversialnya, "Als Ik Eens Nederlander Was" ("Seandainya Aku Seorang Belanda"), mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang membebankan pajak besar kepada rakyat pribumi untuk perayaan kemerdekaan Belanda. Akibat tulisannya yang tajam, ia diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya, Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo, yang tergabung dalam Indische Partij.
Namun, justru di negeri asing inilah Ki Hajar Dewantara semakin mendalami sistem pendidikan Barat. Sekembalinya ke tanah air, ia mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta, sebagai wujud perjuangannya dalam memberikan pendidikan yang layak bagi rakyat pribumi.
Filosofi Pendidikan yang Mengubah Bangsa
Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang merdeka, bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara jiwa dan karakter. Filosofi pendidikannya dikenal dengan tiga prinsip utama:
- Ing Ngarsa Sung Tuladha – "Di depan memberi teladan"
- Ing Madya Mangun Karsa – "Di tengah membangun semangat"
- Tut Wuri Handayani – "Di belakang memberikan dorongan"
Ketiga prinsip ini menekankan bahwa seorang pendidik harus menjadi contoh yang baik, membangun motivasi, dan memberikan dukungan kepada peserta didik.
Dampak Revolusi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Gerakan pendidikan yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia:
-
Akses Pendidikan untuk Semua
Dengan berdirinya Taman Siswa, pendidikan tidak lagi menjadi hak istimewa kaum elite, tetapi dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. -
Pendidikan Berbasis Nasionalisme
Tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, Ki Hajar Dewantara juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme, membangkitkan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan dan identitas bangsa. -
Pendidikan yang Humanis dan Mandiri
Sistem pendidikan Taman Siswa lebih menekankan pada pembentukan karakter dan kemandirian, berbeda dengan pendidikan kolonial yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi penjajah. -
Landasan bagi Sistem Pendidikan Nasional
Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi inspirasi utama dalam sistem pendidikan Indonesia setelah kemerdekaan. Semboyan "Tut Wuri Handayani" bahkan digunakan sebagai motto pendidikan nasional hingga saat ini.
Tanggapan Para Ahli tentang Ki Hajar Dewantara
Berbagai ahli dan pemerhati pendidikan mengakui peran besar Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan Indonesia.
-
Prof. Dr. Anies Baswedan, akademisi dan mantan Menteri Pendidikan, mengatakan:
"Konsep pendidikan yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara bukan hanya relevan di zamannya, tetapi juga menjadi dasar bagi pendidikan modern yang berbasis karakter dan kemandirian." -
Dr. Arief Rachman, M.Pd., pemerhati pendidikan, berpendapat:
"Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan hingga saat ini, terutama dalam membangun pendidikan yang tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga individu yang memiliki jiwa kepemimpinan dan cinta tanah air." -
Dr. Suyanto, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, menambahkan:
"Warisan terbesar Ki Hajar Dewantara adalah konsep pendidikan yang membebaskan dan mendidik dengan kasih sayang. Ini yang harus terus kita terapkan di dunia pendidikan saat ini."
Kesimpulan
Ki Hajar Dewantara bukan sekadar tokoh pendidikan, tetapi juga pahlawan yang membawa revolusi dalam dunia pendidikan Indonesia. Di saat pendidikan masih menjadi hak istimewa bagi kaum tertentu, ia berani mendobrak sistem dan membuka akses pendidikan bagi seluruh rakyat.
Warisan besarnya tidak hanya terlihat dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, tetapi juga dalam cara kita memahami peran pendidikan dalam membentuk bangsa yang merdeka dan berkarakter. Hingga kini, pemikirannya terus menjadi inspirasi bagi para pendidik dan generasi muda.
Sebagai bentuk penghormatan, setiap tanggal 2 Mei, yang merupakan hari kelahirannya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ini menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membangun masa depan bangsa.
Posting Komentar